Minggu, 18 April 2010

Resensi Buku

The Da Vinci Code
April 15, 2007 · Leave a Comment

Resensi Buku Oleh: Mula Harahap

The Da Vinci Code
Dan Brown
Penerbit Bentang, Yogyakarta 2006
ISBN: 979-335-80-7
Penerbit: Serambi, Jakarta.
632 halaman

Robert Langdon, profesor simbolisme agama dari Universitas Harvard diundang untuk memberikan ceramah di Paris. Pada malam Langdon memberikan ceramah, di Museum Louvre terjadi sebuah pembunuhan. Yang terbunuh adalah Jacques Sauniere, kurator museum tersebut. Bersamaan dengan Jacques Sauniere, maka di tempat yang berbeda di kota Paris terbunuh pula tiga orang lainnya.

Jacques Sauniere, bersama dengan ketiga orang lainnya itu, adalah orang-orang kunci atau pemegang rahasia dari Biarawan Sion. Rahasia yang dipegang oleh organisasi yang telah berumur hampir 1.000 tahun ini dianggap sebagai hal yang sangat krusial (bisa mengancam) eksistensi Gereja:

Yesus menikah dengan Maria Magdalena. Mandat untuk mendirikan gereja oleh Yesus ternyata diberikan kepada Maria Magdalena, bukan kepada Petrus. Ketika Yesus disalibkan, maka oleh para muridnya Maria Magdalena yang sedang hamil itu dilarikan ke Perancis. Diyakini
bahwa ia melahirkan anak dan keturunannya masih ada hingga sekarang! Kini tulang-belulang dan dokumen tentang dirinya–yang dikenal sebagai “holy grail” atau “sangreal”– tersimpan di sebuah tempat.

Dipercaya, bila dokumen tersebut dibeberkan, maka ia akan meruntuhkan doktrin yang telah dipertahankan selama 2000 tahun. Eksistensi Gereja Katolik bisa berantakan. Karena itu, banyak fihak yang ingin menguasai dokumen tersebut. Paling-tidak, acaman untuk membeberkan dokumen tersebut bisa dipakai sebagai alat untuk memeras Gereja Katolik.

Biarawan Sion juga bermaksud untuk membeberkan “kebenaran” itu, tapi mereka masih menunggu saat yang tepat. Entah kapan saat yang tepat itu, tidak ada satu pun yang mengetahuinya. Tapi sementara menunggu saat yang tepat itu, maka mereka mati-matian untuk menjaga dan mempertahankannya. Setiap saat, selama lebih dari seribu tahun ini, selalu ada empat orang yang memegang kunci atau petunjuk ke lokasi penyimpanan dokumen dan tulang-belulang Maria Magdalena itu. Bila satu dari empat orang kunci itu terbunuh dalam upayanya mempertahankan rahasia, maka Biarawan Sion akan menunjuk seorang baru sebagai pengganti.

Sebelum terbunuh, ternyata Jacques Sauniere telah menyadari bahwa tiga temannya sesama pemegang kunci telah lebih dahulu pula terbunuh. Didasari kekhawatiran akan terputusnya rantai rahasia ini, maka dalam keadaan sekarat, Jacques Sauniere mencoba berkomunikasi dengan bahasa simbol dan sandi kepada orang yang dianggapnya layak untuk menerima tongkat estafet rahasia, yaitu Robert Langdon dan Sophie Neveu, seorang ahli sandi di Kepolisian Perancis dan yang–ternyata pula–adalah cucu dari Jacques Saniere sendiri.

“Thriller” setebal 600 halaman ini jadi mengasyikkan karena ia melibatkan beberapa tokoh dengan ambisi masing-masing. Ada Kapten Bezu Fache dari “Polda” Metro Paris yang pada mulanya mencurigai Robert Langdon sebagai pelaku pembunuhan di Museum Louvre dan
ingin segera memebekuknya. Ada Uskup Aringarosa, pemimpin Opus Dei–sebuah organisasi militan di dalam tubuh Gereja Katolik–yang berambisi untuk menguasai dokumen tersebut dan memakainya sebagai senjata untuk memeras Vatikan dalam upaya mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Ada Silas “Si Albino”, seorang rahib anggota Opus Dei yang mau melakukan pembunuhan atas keempat orang kunci itu atas perintah “Sang Guru” yang tak pernah dikenalnya, dan yang motivasinya semata-mata adalah demi menjaga doktrin gereja yang
selama ini diyakininya. Akhirnya ada Sir Leigh Teabing (yang di akhir cerita terungkap sebagai “Sang Guru”), bangsawan Inggeris yang selama hidupnya mencurahkan waktu untuk menyelidiki rahasia besar itu dan ingin sekali agar rahasia itu terungkap, yang memakai Uskup
Aringarosa, Silas dan beberapa orang lainnya sebagai “pion”-nya.

“Thriller” atau cerita misteri ini menyangkut kisah yang terjadi dalam waktu satu hari. Karena itu plot cerita pun berjalan cepat. Ia terbagi dalam bab-bab yang pendek. (Seluruhnya ada 105 bab!) Tentu saja, pada awal cerita, sukar bagi kita untuk menebak siapa sebenarnya pelaku pembunuhan dan apa kaitan tokoh yang satu dengan yang lainnya. Melalui ke-105 bab inilah secara perlahan-lahan misteri terungkap.

“Thriller” ini menjadi menarik karena ia berbicara tentang simbol-simbol yang resmi dikenal dan diakui dalam sejarah agama. Ia juga menguraikan simbol-simbol yang banyak dibicarakan oleh para kritikus dalam sejarah senirupa Kristen. Tapi, tentu saja, yang membuatnya menjadi lebih menarik lagi ialah bahwa ia dibumbui oleh rujukan ke berbagai gossip, dongeng dan fantasi dari Abad Pertengahan.

Hal lain lagi yang membuat “thriller” ini menjadi sangat menarik adalah penguasaan pengarang akan sandi, anagram dan permainan angka-angka.

Sebelum mati, dengan memakai darahnya sebagai tinta, Jacques Sanuier menulis, “O, Draconian devil! Oh, lame saint!” Ternyata setelah memutar otak cukup keras, Robert Langdon berhasil menerjemahkannya sebagai, “Leonardo Da Vinci! The Mona Lisa”. Dan di balik
lukisan itulah ia menemukan sebuah kunci yang merupakan langkah awal menuju tempat penyimpanan dokumen. Setelah kunci ditemukan, ternyata persoalan belum selesai. Robert Langdon dan Sophie Neveu masih harus memecahkan lagi teka-teki yang mengantar mereka
ke sebuah deposit di Bank Zurich. Di tempat terakhir ini mereka memang menemukan sebuah kotak yang berisi tabung pualam. Tapi kembali mereka harus memecahkan teka-teki yang dibuat oleh Jacques Sauniere–salah seorang pemegang rahasia–agar bisa membuka tabung
tersebut. Dan setelah berhasil membuka tabung, lagi-lagi mereka menemukan secarik kertas dan teka-teki yang harus dipecahkan, “In London Lies A Knight A Pope Interred…”

Kejar-mengejar–diskusi memecahkan sandi (atau teka-teki dan permainan angka)–kejar-mengejar–diskusi mengenai sejarah agama (atau gosip dan dongeng)–kejar-mengejar–diskusi mengenai senirupa; itulah yang mengisi bab-bab yang pendek dan berjalan cepat dari buku ini.

Perjalanan cerita banyak sekali diisi dengan “permainan” simbol. Dan pengarang–yang diwakili oleh Robert Langdon, professor simbologi agama dari Universitas Harvard–mampu membuat kita terkagum-kagum dan nyaris mempercayai apa pun yang diuraikannya. Dengan enak ia menerangkan kepada kita makna di balik lukisan Monalisa atau Perjamuan Terakhir karya
Leonardo Da Vinci. Dan bualannya tentang kaitan buah apel sebagai simbol dosa, simbol perempuan dan simbol inspirasi dari teori gravitasi Isaac Newton; boleh jadi akan membuat kita manggut-manggut.

Banyak sekali anagram, teka-teki dan permainan kata yang dilakukan dalam bahasa Inggeris oleh para tokoh cerita. Hal ini agak mengherankan juga, karena–kecuali Robert Langdon–semua tokoh cerita adalah penutur dalam bahasa Perancis. Tapi sebagaimana lazimnya penulis fiksi, dengan enaknya Dan Brown–sang pengarang–”berkelit” bahwa bahasa Inggeris tidak serumpun dengan bahasa Latin. Karena itu ia biasa dipakai sebagai bahasa sandi. Alasan yang utama tentu saja adalah bahwa Dan Brown–sang pengarang–orang Amerika dan yang hanya bisa bertutur dalam bahasa Inggeris.

Begitulah, sebagaimana halnya sebuah cerita yang berpretensi “real”, maka–mau tak mau–pengarang harus pula menyelesaikan kisahnya dengan manis dan “masuk akal”. Sang pengarang–Dan Brown–tidak bermaksud menulis sebuah “science-fiction” Kristiani. Karena
itu, pencarian Robert Langdon harus diakhiri di sebuah katedral di Skotlandia. Akhirnya profesor simbologi agama-agama itu tak pernah mendapat jawaban pasti apakah di bawah katedral itu benar-benar terkubur tulang-belulang dan dokumen Maria Magdalena; atau
tidak.

Jawaban atas pencarian yang dilakukan oleh Robert Langdon pun harus diakhiri dengan simbol juga: Pedang atau lelaki atau Yesus (dalam simbol segitiga yang ujungnya menghadap ke bawah), dengan cawan atau perempuan atau Maria Magdalena (dalam simbol segitiga
yang ujungnya menghadap ke atas), menyatu dalam sebuah simbol baru yaitu “The Star of David”. Dan Robert Langdon yang tampangnya mirip Harrison Ford itu pun sepakat dengan Sophie Neveu yang bermata hijau seperti zaitun itu, untuk melakukan kencan selama seminggu di Florence, tanpa membahas museum, gereja, makam dan karya seni. Lagi-lagi sebuah simbol!).

Hal yang menjadi gara-gara di dalam “thriller” ini, yaitu apakah di bawah katedral di Skotlandia itu memang ada atau tidak tulang-belulang dan dokumen Maria Magdalena, ditutup dengan manis lewat dialog Robert Langdon dengan Marie Chauvel, kurator museum katedral di Skotlandia, yang ternyata–banyak sekali “ternyata” di dalam fiksi yang memukau ini– juga
adalah isteri dari Jacques Sauniere:

“Apakah Gereja memaksa suamimu untuk tidak membuka dokumen-dokumen Sangreal pada Hari Akhir?” tanya David Langdon.

“Ya, ampun. Tidak. Hari Akhir adalah legenda orang-orang yang berpikiran paranoid. Dalam dokumen Biarawan Sion tidak ada hari tertentu yang mengharuskan dibukanya Grail. Kenyataannya Biarawan Sion selalu menjaga sehingga Grail tidak akan pernah diungkap.”

“Tidak akan pernah?”

“Misterinya dan keanehan itulah yang bermanfaat bagi jiwa kita, bukan Grail itu sendiri,” kata Marie Chauval lebih jauh. “Bagi beberapa orang, Grail adalah cawan yang akan memberikan kehidupan abadi bagi mereka. Bagi yang lainnya, itu merupakan pencarian dokumen-dokumen yang hilang dan sejarah rahasia. Dan bagi kebanyakan orang, aku menduga Holy Grail hanya
merupakan gagasan mulia…harta yang megah dan tak dapat diraih yang memberikan inspirasi bagi kita walau di dunia yang penuh kekacauan ini.”

“Tetapi jika dokumen-dokumen Sangeral tetap tersembunyi, kisah tentang Maria Magdalena akan hilang selamanya,” kata Langdon.

“Betulkah? Lihat di sekitarmu. Kisahnya diceritakan melalui seni, musik dan buku-buku. Makin banyak setiap hari….” David Langdon puas.

Dan kita, yang selama membaca buku ini diliputi harap-harap cemas (ingin tahu bagaimana jadinya jalan cerita kalau rahasia Maria Magdalena itu diungkapkan) pun puas. Kita menyadari, bahwa yang baru kita baca itu hanyalah sebuah fiksi yang plotnya memukau dan
uraian-uraian persoalannya menggelitik fantasi. Ia bukan bukan sebuah karya teologi, sejarah
atau–apalagi–sebuah kitab suci yang baru. Karena itu pula, ia tidak perlu menggoncangkan iman. Dalam ziarah pemahaman kita, Da Vinci Code hanyalah sebuah interlude, buatan seorang pencerita yang kreatif dan piawai bernama Dan Brown[].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar